Rabu, 21 Januari 2009

Sumbangan Al-Ikhwan untuk Kemerdekaan RI

Sumbangan Al-Ikhwan Al-Muslimun untuk Kemerdekaan Republik Indonesia

Al-Ikhwan.net | 12 June 2007 | 27 Jumadil Awal 1428 H | Hits: 4,016

Al-Ikhwan.net

Pemimpin Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM), Hasan Al Banna ternyata pernah
menjadi anggota Panitia Pembela Kemerdekaan Indonesia di Mesir. Atas desakan IM,
Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan RI. Dengan demikian,
lengkaplah syarat-syarat sebuah negara berdaulat bagi RI.

***

Kota pelabuhan Iskandariyah pertengah Juli 1945. Jam kayu di sebuah
penginapan murah di kota pelabuhan Mesir telah enunjuk angka 22.00 waktu
setempat. Di satu ruangan yang tak seberapa besar, empat-puluhan kelasi kapal
berkebangsaan Indonesia berkumpul. Sejumlah mahasiswa Indonesia yang tengah
studi di Mesir terlihat memimpin rapat.

Beda dengan pertemuan sebelumnya, malam itu atmosfir rapat terasa agak
emosionil! Para kelasi Indonesia yang bekerja di berbagai kapal asing yang
tengah merapat di Iskandariyah, Port Said, dan Suez itu banyak yang yakin, jihad
fii sabilillah yang tengah digelorakan banga Indonesia melawan penjajah belanda
dalam waktu dekat akan sampai pada puncaknya.

Muhammad Zein Hassan, salah seorang mahasiswa Indonesia yang hadir, berpesan
pada para kelasi agar mulai menabung. “Di saat terjadinya jihad, mereka
sebaiknya meninggalkan kapal-kapal sekutu agar tidak menodai perjuangan.”

Sambutan para kelasi yang dalam kesehariannya jauh dari tuntunan agama itu
sungguh mengharukan. Mereka dengan sepenuh hati menyanggupi hal tersebut. “Jika
fatwa sudah turun, kami akan mematuhi,” ujar salah seorang dari mereka.

Tak terasa, jam telah berada di angka satu. Acara ditutup dengan sumpah setia
dengan perjuangan bangsanya yang nun jauh di seberang lautan. Seluruh peserta
mengangkat tangan kanan dan dikepalkan. Dengan menyebut nama Allah SWT, mereka
bertekad akan membantu dengan sekuat tenaga jihad fii sabilillah yang akan
digelorakan bangsanya dalam waktu dekat ini.

Sumpah para kelasi tersebut tidak main-main. Terbukti di kemudian hari, dua
bulan setelah proklamasi dibacakan Soekarno-Hatta, dua orang kelasi Indonesia
tiba di Kairo dengan berjalan kaki dari Tunisia.

“Saat kami tanya mengapa berjalan kaki sejauh itu, mereka menjawab bahwa
mereka menerima fatwa yang dibawa teman-teman mereka dari Indonesia. Fatwa itu
menyatakan haram hukumnya bekerja dengan orang kafir yang memerangi kaum
Muslimin,” ujar Zein Hassan.

Walau tidak punya cukup uang, dua orang kelasi itu segera meninggalkan kapal
sekutu tempatnya bekerja dan berjalan kaki menuju Mesir, karena di Mesir-lah
berada banyak orang sebangsanya.

Di Mesir sendiri kala itu tengah berkembang sikap antipati terhadap
penjajahan Inggris. Sikap non kooperatif terhadap penjajah Inggris ini
dicetuskan oleh organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimun yang mendapat sambutan luar
biasa dari rakyat Mesir.

Sebagai gerakan dakwah yang menembus sekat geografis, Al-Ikhwan Al-Muslimun
telah memiliki “jaringan iman” dengan berbagai gerakan Islam di seluruh dunia,
termasuk Indonesia.

Sebab itu, ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Sekutu dengan
sekuat tenaga memblock-out berita ini masuk ke Timur Tengah. Dikhawatirkan jika
kemerdekaan Indonesia sampai didengar umat Islam di sana, ini bisa menjadi
inspirasi bagi gerakan serupa di Timur Tengah.

Serapat-rapatnya sekutu menutup informasi ini, akhirnya pada awal September
1945, sebulan setelah kemerdekaan Indonesia dibacakan, berita ini sampai juga ke
Mesir.

Mansur Abu Makarim, seorang informan Indonesia yang bekerja di Kedutaan
Belanda di Kairo, membaca berita kemerdekaan Indonesia dalam suatu artikel di
majalah Vrij Nederland. Bagai angin berhembus, berita ini dengan cepat menyebar
ke Dunia Islam.

Koran dan radio Mesir memuat berita kemerdekaan RI dengan gegap gempita. Para
penyiar dengan penuh semangat mengatakan bahwa inilah awal kebangkitan Dunia
Islam melawan penjajahan Barat.

Di Mesir saat itu, seorang Arab hanya dihargai sepuluh pound Mesir jika
dibunuh atau dilindas kendaraan militer Sekutu tanpa hak mengadu atau menggugat.
Sebab itu, proklamasi kemerdekaan sebuah negeri Muslim terbesar di dunia ini
disambut dengan luapan kebahagiaan.

Di sejumlah kota, Al-Ikhwan Al-Muslimun segera menggelar munashoroh
besar-besaran mendukung penuh kemerdekaan Indonesia. Ini dijadikannya momentum
momentum yang bagus untuk memerdekakan Mesir dari Inggris.

Bukan itu saja, sejumlah ulama di Mesir dan Dunia Arab dengan inisiatif
sendiri membentuk “Lajnatud Difa’i’an Indonesia” (Panitia Pembela Indonesia).
Badan ini dideklarasikan pada 16 Oktober 1945 di Gedung Pusat Perhimpunan Pemuda
Islam dengan Jendral Saleh Harb Pasya sebagai pimpinan pertemuan.

Hadir dalam acara itu antara lain Syaikh Hasan Al Banna dan Prof. Taufiq
Syawi dari Al-Ikhwan Al-Muslimun, Pemimpin Palestina Muhammad Ali Taher, dan
Sekjen Liga Arab Dr. Salahuddin Pasya.

Dalam pertemuan yang semata didasari ukhuwah Islamiyah, pakar hukum
internasional Dr. M. Salahuddin Pasya menyerukan negara-negara Islam untuk
sesegera mungkin mendukung, membantu, dan mengakui kemerdekaan RI. Selain itu,
Panitia Pembela Indonesia juga mengancam Inggris agar tidak membantu Belanda
kembali ke Indonesia.

“Jika Inggris membantu Belanda untuk kembali ke Indonesia, maka Inggris akan
menuai kemarahan Dunia Islam di Timur Tengah!” ancam Salahuddin Pasya.

Sejarah telah menulis, Inggris tetap membela “kawan seakidah” bernama
Belanda. Pasukan NICA membonceng Sekutu kembali ke Indonesia.

Pada 25 Oktober 1945, sejumlah ulama NU pimpinan KH. Wahid Hasyim bertemu dan
mengeluarkan fatwa jihad fii sabilillah melawan penjajah. Fatwa ini bergema ke
seluruh nusantara dan disambut dengan gegap gempita.

Fatwa jihad inilah yang melatarbelakangi pertempuran 10 November 1945 di
Surabaya (hingga kini 10 November diperingati sebagai hari Pahlawan di
Indonesia, red.). Untuk memompakan keberanian rakyat Surabaya, Bung
Tomo lewat corong radio perlawanan - cikal bakal RRI - terus menerus
mengingatkan para mujahid bahwa gerbang surga telah terbuka luas bagi mereka
yang syahid.

Hanya semangat jihad dan keridhaan Allah SWT yang mampu membuat ribuan rakyat
Surabaya berani melawan pasukan Sekutu bersenjata lengkap.

Kedahsyatan pertempuran Surabaya bergema hingga ke Dunia Arab. Keberanian
umat Islam Surabaya mengobarkan jihad melawan pasukan Sekutu yang habis mabuk
kemenangan dalam Perang Dunia II, ditambah tewasnya satu Jenderal Sekutu -
Malaby - di Surabaya, dirasakan oleh kaum Muslimin Timur Tengah sebagai bagian
dari kemenangan Islam atas kaum kafir. Upaya perlawanan terhadap Inggris di
Mesir pun kian membuncah.

Di berbagai lapangan dan Masjid di Kairo, Mekkah, Baghdad, dan negeri-negeri
Timur Tengah, dengan serentak umat Islam mendirikan sholat ghaib untuk arwah
para syuhada di Surabaya.

Melihat fenomena itu, majalah TIME (25/1/46) dengan nada salib menakut-nakuti
Barat dengan kebangkitan Nasionalisme-Islam di Asia dan Dunia Arab. “Kebangkitan
Islam di negeri Muslim terbesar di dunia seperti di Indonesia akan
menginspirasikan negeri-negeri Islam lainnya untuk membebaskan diri dari
Eropa.”

Dukungan negara-negara Islam di Timur Tengah terhadap kemerdekaan Indonesia
tidak saja dilakukan dalam tingkat akar rumput, namun juga dalam dunia
diplomasi. Dalam berbagai sidang di Perserikatan Bangsa-Bangsa, terlihat dengan
jelas adanya perbedaan sikap antara negeri-negeri Muslim yang mendukung
Indonesia dengan negeri-negeri salib yang memandang Indonesia masih bagian dari
Belanda.

Wakil-wakil dari Indonesia di sidang PBB, diperbolehkan ikut sidang setelah
negeri-negeri Arab mengakui kedaulatan RI, dalam menghadapi serangan pihak
Sekutu sering menanggapinya dengan cara diplomatis dan terkesan lunak. Hal ini
dikecam keras Muhammad Ali Taher dari Palestina.

“Mengapa kamu masih saja bersikap diplomatis terhadap seseorang yang ingin
menghancurkan negeri kamu!” sergahnya mengingatkan wakil dari Indonesia agar
tidak takut melawan kezaliman.

Di Mesir, sejak diketahui sebuah negeri Muslim bernama Indonesia
memplokamirkan kemerdekaannya dari penjajah kafir, Al-Ikhwan Al-Muslimun tanpa
kenal lelah terus menerus memperlihatkan dukungannya.

Selain menggalang opini umum lewat pemberitaan media, yang memberikan
kesempatan luas kepada para mahasiswa Indonesia untuk menulis tentang
kemerdekaan Indonesia di koran-koran lokal miliknya, berbagai acara tabligh
akbar dan demonstrasi pun digelar.

Para pemuda dan pelajar Mesir, juga kepanduan Ikhwan, dengan caranya sendiri
berkali-kali mendemo Kedutaan Belanda di Kairo. Tidak hanya dengan slogan dan
spanduk, aksi pembakaran, pelemparan batu, dan teriakan-teriakan permusuhan
terhadap Belanda kerap dilakukan mereka.

Kondisi ini membuat Kedutaan Belanda di Kairo ketakutan. Mereka dengan
tergesa mencopot lambang negaranya dari dinding Kedutaan. Mereka juga menurunkan
bendera merah-putih-biru yang biasa berkibar di puncak gedung, agar tidak mudah
dikenali pada demonstran.

Kuatnya dukungan rakyat Mesir atas kemerdekaan RI, juga atas desakan dan lobi
yang dilakukan para pemimpin Al-Ikhwan Al-Muslimun, membuat pemerintah Mesir
mengakui kedaulatan pemerintah RI atas Indonesia pada 22 Maret 1946.

Inilah pertama kalinya suatu negara asing mengakui kedaulatan RI secara
resmi. Dalam kacamata hukum internasional, lengkaplah sudah syarat Indonesia
sebagai sebuah negara berdaulat.

Bukan itu saja, secara resmi pemerintah Mesir juga memberikan bantuan lunak
kepada pemerintah RI. Sikap Mesir ini memicu tindakan serupa dari negara-negara
Timur Tengah.

Untuk menghaturkan rasa terima kasih, pemerintah Soekarno mengirim delegasi
resmi ke Mesir pada tanggal 7 April 1946. Ini adalah delegasi pemerintah RI
pertama yang ke luar negeri. Mesir adalah negara pertama yang disinggahi
delegasi tersebut.

Tanggal 26 April 1946 delegasi pemerintah RI kembali tiba di Kairo. Beda
dengan kedatangan pertama yang berjalan singkat, yang kedua ini lebih intens. Di
Hotel Heliopolis Palace, Kairo, sejumlah pejabat tinggi Mesir dan Dunia Arab
mendatangi delegasi RI untuk menyampaikan rasa simpati. Selain pejabat negara,
sejumlah pemimpin partai dan organisasi juga hadir. Termasuk pemimpin Al-Ikhwan
Al-Muslimun Hasan al Banna dan sejumlah tokoh Ikhwan dengan diiringi puluhan
pengikutnya.

Setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia, diikuti serius oleh setiap
Muslim baik di Mesir maupun di Timur Tengah pada umumnya. Para mahasiswa
Indonesia yang saat itu tengah berjuang di Mesir dengan jalan diplomasi
revolusi, senantiasa menjaga kontak dengan Ikhwan.

Ketika Belanda melancarkan agresi Militer I (21 Juli 1947) atas Indonesia,
para mahasiswa Indonesia di Mesir dan aktivis Ikhwan menggalang aksi pemboikotan
terhadap kapal-kapal Belanda yang memasuki selat Suez.

Walau Mesir terikat perjanjian 1888 yang memberi kebebasan bagi siapa saja
untuk bisa lewat terusan Suez, namun keberanian para buruh Ikhwan yang menguasai
Suez dan Port Said berhasil memboikot kapal-kapal Belanda.

Pada tanggal 9 Agustus 1947, rombongan kapal Belanda yang dipimpin kapal
kapal Volendam tiba di Port Said. Ribuan aktivis Ikhwan yang kebanyakan terdiri
dari para buruh pelabuhan, telah berkumpul di pelabuhan utara kota Ismailiyah
itu.

Puluhan motor boat dan motor kecil sengaja berkeliaran di permukaan air guna
menghalangi motor-boat motor-boat kepunyaan perusahaan-perusahaan asing yang
ingin menyuplai air minum dan makanan kepada kapal Belanda itu.

Motor-boat para ikhwan tersebut sengaja dipasangi bendera merah putih.
Dukungan Ikhwan terhadap kemerdekaan Indonesia bukan sebatas dukungan
formalitas, tapi dukungan yang didasari kesamaan iman dan Islam.

Walau pemimpin Ikhwan Hasan Al Banna menemui syahid ditembak mati oleh
begundal rezim Mesir di siang hari bolong, 12 Februari 1949, dukungan ikhwan
terhadap muslim Indonesia tidaklah berakhir. Dakwah tiada kenal kata akhir,
hingga Islam membebaskan semua manusia.

___
Sumber: Majalah Saksi - No. 21 Tahun VI, 18 Agustus 2004. Oleh: Rizki
Ridyasmara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar